Detikkini.id – Di balik pembangunan jalan yang membentang di antara lembah dan hutan Sumatera Utara, tersembunyi kisah lama yang kembali terulang: korupsi berjamaah, proyek bermasalah, dan aparat yang terperangkap dalam aliran dana gelap. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 Juni 2025 seakan menampar kesadaran publik: infrastruktur yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, justru kerap berubah menjadi sumber kehancuran moral.
Lebih dari sekadar penindakan, OTT kali ini mengungkap dua klaster proyek, nilai ratusan miliar, dan dugaan keterlibatan petinggi daerah, termasuk nama yang tidak asing: Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution.
Dua Klaster, Satu Skema: Uang, Kuasa, dan Pengaruh
Pola yang terungkap nyaris seragam dengan kasus-kasus sebelumnya: pengaturan proyek, suap untuk tender dan pencairan dana, serta pembagian jatah yang mengalir dari kontraktor ke pejabat teknis. Hanya saja kali ini, nilainya jauh lebih besar dan nama-nama yang muncul jauh lebih strategis.
Klaster 1, di bawah Dinas PUPR Sumut, mencakup proyek Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI dengan total nilai Rp74 miliar selama 2023–2024.
Klaster 2, wilayah Satker PJN Wilayah I, meliputi dua proyek utama: Jalan Sipiongot–Batas Labusel dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot dengan nilai mencapai Rp157,8 miliar.
Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, aroma keterlibatan lebih luas mulai menguar ke permukaan. Dalam proses penyidikan, aliran dana tidak hanya berhenti di tangan para pelaksana proyek, tetapi juga diduga mengalir ke jajaran elit Pemprov Sumut. Sorotan langsung mengarah ke Bobby Nasution, yang statusnya masih sebagai saksi potensial.
“Kalau ada aliran uang ke seluruh jajaran, ya wajib memberikan keterangan.”
— Bobby Nasution, 30 Juni 2025
Pernyataan tersebut—alih-alih menepis—justru membuka ruang spekulasi: apakah ada pembiaran, atau lebih jauh, keterlibatan?
Infrastruktur atau Instrumen Politik?
Sektor infrastruktur adalah medan luas permainan kuasa. Nilai proyeknya besar, proses pengawasannya longgar, dan sering kali dijadikan instrumen politik oleh elite daerah untuk mengonsolidasikan kekuasaan atau membiayai ambisi politik.
Menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, bukan tokoh sembarangan. Posisinya sebagai Gubernur Sumut menjadikannya sosok penting dalam kontestasi politik nasional 2029. Maka, dugaan keterlibatan dirinya, jika terbukti, bisa menciptakan gelombang politik besar—bukan hanya di Sumut, tetapi juga secara nasional.
Suara dari Pakar: Potensi Jerat Hukum
“Jika Gubernur menerima manfaat langsung atau membiarkan praktik suap terjadi, maka pasal gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang bisa dikenakan.”
— Ahli Hukum, Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Tipikor memberikan ruang bagi penindakan kepada pejabat yang terbukti menerima gratifikasi, atau membiarkan anak buahnya melakukan korupsi secara sistemik. Dalam hal ini, tanggung jawab komando bisa menjadi titik tekan penyidikan.
Lokasi Proyek: Simbol Ketimpangan dan Kepentingan
Jalur-jalur bermasalah itu bukan sekadar titik di peta. Mereka adalah urat nadi distribusi ekonomi Sumut bagian barat dan selatan, jalur vital yang kerap diklaim dalam retorika kampanye sebagai simbol kemajuan. Justru dari situ, uang haram ditengarai mengalir—menghancurkan harapan warga desa yang bertahun-tahun berharap jalanan mereka tak lagi berlumpur atau longsor.
“Proyek itu bukan gagal, tapi diselewengkan. Jalan rusak, tapi mereka kaya.”
— Warga Padang Bolak, Tapanuli Selatan
Apa yang Bisa Dilakukan Publik dan Negara?
Kasus ini tidak boleh berhenti pada penangkapan kontraktor dan pejabat teknis semata. KPK harus berani menembus lingkaran kekuasaan, mengungkap siapa pun yang diuntungkan oleh skema busuk ini—meski jabatan mereka setinggi Gubernur.
Transparansi penuh, penyitaan aset, hingga pengawasan publik adalah jalan menuju pemulihan. Karena korupsi bukan hanya tentang uang, tapi tentang penghinaan terhadap jerih payah rakyat dan penghancuran mimpi pembangunan itu sendiri. (R)


























