Oleh: [Yoga Pratama]
“Satu Kelurahan Satu Bank Sampah” menggema di setiap sudut titik kota, tepat ketika Pemerintah Kota Palembang secara semangat mengumumkan hal itu sebagai salah satu program yang akan menyelesaikan tampak wujud memprihatinkan yang telah terjadi saat ini atas keadaan kata BARI menjadi peringatan Darurat Sampah.
Begitu yakin akan program itu, pemerintah kota Palembang dibawah kepemimpinan Walikota Ratu Dewa sebagai motor penggerak perkembangan tata kelola optimal untuk mendorong hal ini, secara ambisius 107 kelurahan akan aktif memilah dan mengolah sampah secara mandiri sebelum 2026. Sebanyak 37 bank sampah baru telah diresmikan, lengkap dengan taman edukasi bertema 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace) yang ditujukan untuk mendidik anak-anak sejak dini.
Namun pertanyaannya, mengapa Palembang masih bertumpu pada pendekatan lama terhadap persoalan yang makin kompleks? Bank sampah bukan gagasan baru.
Ini adalah kebijakan warisan yang telah berusia lebih dari satu dekade, namun belum mengalami evolusi berarti.
Banyak yang justru stagnan, bahkan gagal total di banyak kota karena tidak disertai pembaruan sistem dan pemahaman mendalam soal perilaku sosial masyarakat.
TPS Penuh Bukan Karena Tak Ada Tempat, Tapi Karena Tak Ada Kesadaran
Di tengah semangat peluncuran bank sampah baru, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Salah satu contohnya terjadi di Pasar Kebun Semai, Palembang. TPS di sana yang seharusnya menampung sampah aktivitas pasar setiap hari overload.
Bahkan penerapan pemilahan sampah seperti 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace) telah berlaku. Dengan bak penampung di buat 3 tempat tampung namun tidak efisien dan berjalan sebagaimana mestinya.
“ Warga/pengunjung tetap membuang dengan gaya seperti atlet lempar lembing, tidak ada namanya membedakan dan memilah sampah itu,” (red/penulis)
Disisi lain, menurut data lapangan, total sampah dari pedagang pasar tidak sampai 1 ton per hari. Namun truk sampah selalu penuh hingga batas kapasitas, karena sampah dari luar pasar berdatangan tak terkendali. Warga dari lingkungan sekitar terus membuang sampah rumah tangga ke tempat yang bukan peruntukannya.
Ini adalah bukti bahwa masalah utama bukanlah kurangnya TPS, melainkan tidak adanya kesadaran dan tanggung jawab kolektif.
Bank sampah bisa saja terus dibangun, tapi jika warga tetap melihat TPS sebagai “tong sampah umum tanpa aturan”, maka tidak ada kemajuan berarti.
Bank Sampah: Gagasan Baik yang Gagal Berkembang
Sebagai instrumen, bank sampah punya tujuan yang mulia mendorong warga memilah sampah dari rumah, mengelola sisa konsumsi menjadi nilai ekonomi. Namun dalam praktiknya, banyak bank sampah hanya bertahan beberapa bulan sebelum mati suri.
Mengapa? Karena tidak ada sistem insentif yang kuat, tidak ada edukasi sosial yang konsisten, dan beban operasional seringkali tidak ditopang anggaran jangka panjang.
Lebih jauh lagi, dalam konteks darurat sampah seperti di Palembang yang memproduksi sekitar 1.240 ton sampah setiap hari pendekatan manual berbasis warga ini tidak bisa bekerja sendirian. Apalagi jika masih mengandalkan tenaga relawan, logistik tradisional, dan pelaporan manual.
Mari Tangani Masalah Sampah dengan Sistem Modern
Untuk menjawab tantangan darurat sampah hari ini, Palembang tidak bisa terus-menerus mengulang pola lama.
Dibutuhkan sistem pengelolaan modern yang berbasis data, teknologi, dan intervensi wilayah. Beberapa langkah yang bisa segera dilakukan:
1. Pemetaan Produksi Sampah per RT/RW dan Penempatan Kontainer Wilayah
Setiap RT/RW harus dipetakan berdasarkan volume sampah hariannya. Pemerintah kemudian wajib menyediakan kontainer sampah di setiap wilayah, sebagai solusi konkrit agar warga tidak membuang sampah ke tempat yang bukan peruntukannya. Ini akan mengurangi tekanan pada TPS umum dan pasar-pasar tradisional.
2. Laboratorium Pemilah sebagai Motor Sistemik
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran miliaran untuk membangun laboratorium pengolahan sampah. Laboratorium ini harus menjadi motor utama sistem memilah sampah dari kontainer wilayah dengan peralatan modern, bukan menyerahkan proses pemilahan sepenuhnya ke rumah tangga. Ini akan mempercepat daur ulang dan meningkatkan efisiensi.
3. Layanan Jemput Sampah Berbasis Aplikasi
Sudah saatnya Palembang mengembangkan layanan jemput sampah on-demand berbasis aplikasi, di mana warga bisa menjadwalkan penjemputan sampah anorganik, elektronik, atau barang besar.
Model ini terbukti efisien di kota-kota maju dan bisa mengurangi praktik pembuangan sembarangan.
Masa Depan Tidak Bisa Diselesaikan dengan Alat Masa Lalu
Palembang sedang menghadapi darurat sampah. Jika tidak ditangani secara sistemik dan berbasis inovasi, program-program semacam bank sampah hanya akan menjadi warisan simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan.
Bank sampah bisa tetap dijalankan sebagai bagian dari strategi pendidikan dan partisipasi warga. Tapi itu bukan solusi utama. Solusi utamanya adalah kesadaran kolektif, pengelolaan berbasis wilayah, dan adopsi teknologi modern yang bisa menjangkau masalah secepat masalah itu tumbuh.
Membangun kota bersih di masa depan membutuhkan lebih dari sekadar tempat — kita butuh sistem, budaya, dan keberanian untuk berubah.