Jakarta, Detikkini — Pada hari-hari awal masa jabatannya, Nadiem Anwar Makarim adalah simbol perubahan. Ia bukan politikus. Ia bukan pejabat karier. Ia adalah seorang wirausahawan muda, pendiri platform transportasi daring Gojek, dan lulusan Harvard Business School yang secara mengejutkan diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Indonesia Maju 2019–2024.
Masuknya Nadiem ke panggung birokrasi disambut sebagai angin segar. Ia membawa jargon baru Merdeka Belajar. Ia bicara tentang ekosistem pendidikan yang adaptif, partisipatif, dan digital. Dan dari sekian banyak terobosannya, salah satu yang paling ambisius adalah Program Digitalisasi Sekolah termasuk pengadaan laptop berbasis Chromebook untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar.
Namun lima tahun sejak momen bersejarah itu, nama Nadiem Makarim kini tercatat dalam berita yang jauh berbeda. Ia tak lagi berbicara di panggung inovasi. Ia berdiri di hadapan penyidik Kejaksaan Agung, diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun.
Proyek Ambisius yang Kini Dipertanyakan
Program pengadaan laptop Chromebook diluncurkan pada 2021 sebagai bagian dari strategi nasional digitalisasi pendidikan. Pemerintah melalui Kemendikbudristek menargetkan distribusi jutaan perangkat ke sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Sumber dananya berasal dari APBN, dikombinasikan dengan dana alokasi khusus (DAK) fisik. Proyek ini dirancang untuk menjembatani ketimpangan teknologi antarwilayah dan mempercepat pembelajaran digital pasca-pandemi COVID-19.
Namun, sejak awal 2025, sinyal keganjilan mulai terendus. Laporan hasil audit dan pengaduan masyarakat menyebutkan adanya ketidaksesuaian harga, spesifikasi perangkat yang di bawah standar, dan proses tender yang tidak transparan.
Pada 20 Mei 2025, Kejaksaan Agung secara resmi menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Dan sorotan pun langsung tertuju pada nama besar yang pernah menggagasnya Nadiem Makarim.
12 Jam di Kejaksaan: Diam yang Mengandung Makna
Senin, 23 Juni 2025, Nadiem memenuhi panggilan Kejaksaan Agung. Ia tiba pukul 09.09 WIB dan baru meninggalkan Gedung Bundar Jampidsus sekitar pukul 21.01 WIB. Lebih dari 12 jam ia berada di dalam, memberikan keterangan sebagai saksi.
Namun, ketika keluar dari lobi, ia memilih tidak menjelaskan substansi pemeriksaan.
“Terima kasih dan izinkan saya pulang karena keluarga saya telah menunggu,” ujarnya singkat, sebelum bergegas masuk ke mobil yang telah menunggu.
Hanya satu hal yang ia tekankan: komitmen untuk bersikap kooperatif.
“Saya akan terus bersikap kooperatif untuk membantu menjernihkan persoalan ini, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transformasi pendidikan yang telah kita bangun bersama.”
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada jajaran penyidik yang, menurutnya, menjalankan proses hukum dengan menjunjung asas keadilan dan praduga tak bersalah.
Satu per Satu Dipanggil: Jejak di Lingkaran Dalam
Pemeriksaan tidak hanya berhenti pada Nadiem. Lingkaran dalam mantan Mendikbudristek itu juga mulai disentuh. Dua nama yang sudah dimintai keterangan adalah:
Fiona Handayani, eks staf khusus Mendikbudristek.
Ibrahim Arief, konsultan dari tim Stafsus.
Keduanya diperiksa terkait proses pengadaan dan kajian yang menjadi dasar proyek Chromebook. Sementara itu, satu nama lain — Jurist Tan, yang juga mantan staf khusus Nadiem hingga kini belum memenuhi panggilan penyidik. Ia disebut berada di luar negeri. Kejaksaan masih mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya.
Dugaan mulai menguat bahwa perencanaan program ini melibatkan jejaring internal yang intens, dan kini mulai dibuka lembar demi lembar oleh penyidik.
Kritik Menggema, Tagar Memuncak
Di tengah kabar pemeriksaan, ruang publik mulai dipenuhi kecaman. Di media sosial, tagar seperti #SkandalLaptop, #KorupsiDigitalisasi, dan #GagalMerdekaBelajar sempat trending. Masyarakat mempertanyakan: bagaimana mungkin proyek pendidikan dengan nilai hampir Rp 10 triliun bisa dijalankan tanpa pengawasan ketat?
Menurut para Pengamat pendidikan, menilai kasus ini sebagai kemunduran serius bagi upaya reformasi. “Ketika proyek pendidikan sebesar ini terlibat masalah hukum, bukan hanya uang negara yang hilang kepercayaan guru-guru di lapangan pun ikut runtuh. Ini kerusakan yang lebih dalam dari sekadar laporan keuangan.”
Dari gedung parlemen, sejumlah anggota DPR mendesak pemerintah membuka nama-nama perusahaan pengadaan, mekanisme tender, dan aliran dana yang digunakan.
Masa Depan Digitalisasi di Persimpangan
Digitalisasi pendidikan bukan hanya soal menyediakan perangkat. Ia menyangkut perubahan ekosistem: kesiapan guru, jaringan internet, materi pembelajaran digital, hingga budaya belajar. Proyek Chromebook menjadi semacam lambang dari ambisi itu — dan jika terbukti menyimpang, maka seluruh semangat transformasi bisa ikut hancur.
Belum ada satu pun tersangka ditetapkan dalam kasus ini. Namun angka kerugian negara disebut berpotensi mencapai triliunan rupiah dan masih dalam tahap perhitungan oleh lembaga audit negara.
Dari Ikon ke Pusaran Skandal
Nadiem Makarim bukan sekadar menteri. Ia adalah ikon generasi baru birokrasi. Sosok yang dipercaya membawa kecepatan dan inovasi ke mesin pemerintahan yang selama ini dikenal lamban.
Kini, namanya berada di tengah badai. Dari ruang-ruang pertemuan startup ke ruang pemeriksaan jaksa, Nadiem harus membuktikan bahwa ia bukan bagian dari sistem yang dulu ingin ia ubah.
Apakah ia korban dari struktur birokrasi yang lebih besar, atau bagian dari perencanaan yang gagal diawasi? Waktu dan proses hukum akan menjawabnya.
Flashback di salah satu pidatonya, Nadiem pernah mengatakan bahwa perubahan membutuhkan risiko. Bahwa inovasi lahir dari keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
Kini, ia sendiri berada dalam situasi paling tidak nyaman dalam hidupnya. Sebagai tokoh, sebagai menteri, sebagai warga negara — ia sedang menjalani ujian terbesar. Ujian bukan hanya untuk membuktikan integritasnya, tapi juga mempertahankan kepercayaan masyarakat yang dulu menyambutnya dengan harapan.
Apakah ini akhir dari narasi inovasi, atau awal dari pertanggungjawaban besar? Apakah pendidikan digital akan tetap melaju, atau justru terhenti karena hilangnya legitimasi?
Yang pasti, Indonesia sedang belajar. Dan pelajaran ini mahal harganya. (YP)


























